PAI : Manusia Makhluk Sosial
Manusia Makhluk Sosial
Selasa, 9 oktober 2018
Assalamualaikum Warohmatullah Wabarakatuh
Pertama tama marilah kita mengucap syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT, yang mana karena limpahan rahmat dan hidayah nya kita masih diberikan kesehatan dan keselamatan, Aamiin Yaa rabbal alamin.
Kedua, shalawat wa salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang kita tunggu tunggu syafa’at nya pada akhir zaman.
Baik pembaca sekalian, saya akan memposting tentang “Manusia Makhluk Sosial “ sebagai pertemuan ke lima, namun materi ke 6 dalam Perkuliahan saya, semoga postingan saya dalam blog ini bermanfaat bagi kita yang membacanya, Aamiin.
Manusia Makhluk Sosial. Manusia adalah makhluk yang membutuhkan satu sama lain. Manusia tidak dapat hidup sendiri atau tanpa orang lain, sesuatu yang dilakukan setiap manusia, pasti terdapat campur tangan manusia lainnya. Oleh karenanya, agar aktivitas berjalan dengan baik, maka hubungan antara manusia satu sama lain harus juga baik.
1. Pengertian
Manusia adalah makhluk sosial yang hidup bermasyarakat (zoon politicon). Keutuhan manusia akan tercapai apabila manusia sanggup menyelaraskan perannya sebagai makhluk ekonomi dan sosial. Sebagai makhluk sosial (homo socialis), manusia tidak hanya mengandalkan kekuatannya sendiri, tetapi membutuhkan manusia lain dalam beberapa hal tertentu. Misalnya, dalam lingkungan manusia terkecil yaitu keluarga. Dalam keluarga, seorang bayi membutuhkan kasih sayang kedua orang tuanya agar dapat tumbuh dan berkembang secara baik dan sehat.
Manusia tidak dapat mencapai apa yang diinginkan dengan dirinya sendiri. Karena manusia menjalankan peranannya dengan menggunakan simbol untuk mengkomunikasikan pemikiran dan perasaannya. Manusia tidak dapat menyadari individualitas, kecuali melalui medium kehidupan sosial.
Sebagai masyarakat Indonesia, setiap manusia saling membutuhkan satu sama lainnya tentunya dalam hal yang positif. Saling bersosialisasi antara satu sama lainnya membuat interaksi yang kuat untuk mengenal kepribadian manusia lain. Manusia yang mudah bersosialisasi adalah manusia yang dapat atau mampu menjalankan komunikasi dengan baik dengan lingkungan sekitarnya. Dengan berlandaskan Pancasila manusia sebagai makhluk yang sosial dan budaya disatukan untuk saling menghormati dan menghargai antara manusia yang memiliki budaya yang berbeda-beda.
Manusia sebagai makhluk sosial. Manusia sejak lahir sampai mati selalu hidup dalam masyarakat, tidak mungkin manusia di luar masyarakat. Aristoteles mengatakan bahwa makhluk hidup yang tidak hidup dalam masyarakat ialah sebagai seorang malaikat atau seorang hewan.
Di India oleh Mr. Singh didapatkan dua orang anak yang berumur 8 tahun dan 1 ½ tahun. Pada waktu masih bayi anak-anak tersebut diasuh oleh serigala dalam sebuah gua. Setelah ditemukan kemudian anak yang kecil mati, tersisa yang besar. Selanjutnya, walaupun ia sudah dilatih hidup bermasyarakat sifatnya masih seperti serigala, kadang-kadang meraung-raung di tengah malam, suka makan daging mentah, dan sebagainya. Juga di Amerika dalam tahun 1938, seorang anak berumur 5 tahun kedapatan di atas loteng. Karena terasing dari lingkungan dia meskipun umur 5 tahun belum juga dapat berjalan dan bercakap-cakap. Jadi jelas bahwa manusia meskipun mempunyai bakat dan kemampuan, namun bakat tersebut tidak dapat berkembang, Itulah sebabnya manusia dikatakan sebagai makhluk sosial (Hartomo, 2000: 77).
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa manusia lainnya. Misalnya saja hubungan sosialisasi antar tetangga , dengan adanya interaksi sosial antar tetangga akan mempermudah kita dalam mengatasi masalah di sekitar yang membutuhkan bantuan dari manusia lainnya. Jadi itulah mengapa manusia dikatakan sebagai makhluk sosial.
2. Esensi Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Esensi manusia sebagai makhluk sosial pada dasarnya adalah kesadaran manusia tentang status dan posisi dirinya adalah kehidupan bersama, serta bagaimana tanggungjawab dan kewajibannya di dalam kebersamaan.
Dibawah ini merupakan faktor-faktor yang mendorong manusia untuk hidup bermasyarakat.
Faktor-faktor itu adalah:
1. Adanya dorongan seksual, yaitu dorongan manusia untuk mengembangkan keturunan atau jenisnya.
2. Adanya kenyataan bahwa manusia adalah serba tidak bisa atau sebagai makhluk lemah. Karena itu ia selalu mendesak atau menarik kekuatan bersama, yang terdapat dalam perserikatan dengan orang lain.
3. Karena terjadinya habit pada tiap-tiap diri manusia. Manusia bermasyarakat karena ia telah biasa mendapat bantuan yang berfaedah yang diterimanya sejak kecil dari lingkungannya.
4. Adanya kesamaan keturunan, kesamaan teritorial, nasib, keyakinan/cita-cita, kebudayaan, dan lain-lain.
Faktor-faktor lain yang dapat mengatakan manusia adalah makhluk sosial, yaitu :
a. Manusia tunduk pada aturan, norma sosial.
b. Perilaku manusia mengharapkan suatu penilaian dari orang lain.
c. Manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain
d. Potensi manusia akan berkembang bila ia hidup di tengah-tengah manusia.
Secara alamiah manusia berinteraksi dengan lingkungannya, manusia sebagai pelaku dan sekaligus dipengaruhi oleh lingkungan tersebut. Perlakuan manusia terhadap lingkungannya sangat menentukan keramahan lingkungan terhadap kehidupannya sendiri. Manusia dapat memanfaatkan lingkungan tetapi perlu memelihara lingkungan agar tingkat kemanfaatannya bisa dipertahankan bahkan ditingkatkan. Bagaimana manusia mensikapi dan mengelola lingkungannya pada akhirnya akan mewujudkan pola-pola peradaban dan kebudayaan.
Oleh karena, itu manusia sering disebut makhluk sosial, artinya makhluk yang harus hidup bersama dengan manusia lain dalam satu kesatuan yang disebut dengan masyarakat. Disamping itu, manusia adalah makhluk yang menciptakan kebudayaan dengan berbudaya itulah manusia berusaha mencukupi kebutuhan hidupnya. Manusia tidak dapat dilepas dari kebudayaan, dimana ada manusia disitu ada kebudayaan. Kapankah kebudayaan mulai ada dimuka bumi? bersamaan dengan mulai adanya umat manusia dimuka bumi ini.
1. Karakteristik Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Telah berabad-abad konsep manusia sebagai makhluk sosial itu ada yang menitik beratkan pada pengaruh masyarakat yang berkuasa kepada individu. Dimana memiliki unsur-unsur keharusan biologis, yang terdiri dari:
1. Dorongan untuk makan
2. Dorongan untuk mempertahankan diri
3. Dorongan untuk melangsungkan jenis
Dari tahapan diatas menggambarkan bagaimana individu dalam perkembangannya sebagai seorang makhluk sosial dimana antar individu merupakan satu komponen yang saling ketergantungan dan membutuhkan. Sehingga komunikasi antar masyarakat ditentukan oleh peran oleh manusia sebagai makhluk sosial.
Dalam perkembangannya manusia juga mempunyai kecenderungan sosial untuk meniru dalam arti membentuk diri dengan melihat kehidupan masyarakat yang terdiri dari :
1. Penerimaan bentuk-bentuk kebudayaan, dimana manusia menerima bentuk-bentuk pembaharuan yang berasal dari luar sehingga dalam diri manusia terbentuk sebuah pengetahuan.
2. Penghematan tenaga dimana ini adalah merupakan tindakan meniru untuk tidak terlalu menggunakan banyak tenaga dari manusia sehingga kinerja mnausia dalam masyarakat bisa berjalan secara efektif dan efisien.
Pada umumnya hasrat meniru itu kita lihat paling jelas di dalam ikatan kelompok tetapi juga terjadi didalam kehidupan masyarakat secara luas. Dari gambaran diatas jelas bagaimana manusia itu sendiri membutuhkan sebuah interaksi atau komunikasi untuk membentuk dirinya sendiri malalui proses meniru. Sehingga secara jelas bahwa manusia itu sendiri punya konsep sebagai makhluk sosial.
Yang menjadi ciri manusia dapat dikatakan sebagai makhluk sosial adalah adanya suatu bentuk interaksi sosial di dalam hubungannya dengan makhluk sosial lainnya yang dimaksud adalah dengan manusia satu dengan manusia yang lainnya. Secara garis besar faktor-faktor personal yang mempengaruhi interaksi manusia terdiri dari tiga hal yakni :
1. Tekanan emosional. Ini sangat mempengaruhi bagaimana manusia berinteraksi satu sama lain.
2. Harga diri yang rendah. Ketika kondisi seseorang berada dalam kondisi manusia yang direndahkan maka akan memiliki hasrat yang tinggi untuk berhubungan dengan orang lain karena kondisi tersebut dimana orang yang direndahkan membutuhkan kasih sayang orang lain atau dukungan moral untuk membentuk kondisi seperti semula.
3. Isolasi sosial. Orang yang terisolasi harus melakukan interaksi dengan orang yang sepaham atau sepemikiran agar terbentuk sebuah interaksi yang harmonis Manusia adalah makhluk yang selalu berinteraksi dengan sesamanya. Manusia tidak dapat mencapai apa yang diinginkan dengan dirinya sendiri. Sebagai makhluk sosial karena manusia menjalankan peranannya dengan menggunakan simbol untuk mengkomunikasikan pemikiran dan perasaannya. Manusia tidak dapat menyadari individualitas, kecuali melalui medium kehidupan sosial.
Manisfestasi manusia sebagai makhluk sosial, nampak pada kenyataan bahwa tidak pernah ada manusia yang mampu menjalani kehidupan ini tanpa bantuan orang lain.
2. Kedudukan Manusia sebagai Makhluk Sosial
Manusia sebagai makhluk sosial artinya manusia sebagai warga masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak dapat hidup sendiri atau mencukupi kebutuhan sendiri. Meskipun dia mempunyai kedudukan dan kekayaan, dia selalu membutuhkan manusia lain. Setiap manusia cenderung untuk berkomunikasi, berinteraksi, dan bersosialisasi dengan manusia lainnya. Dapat dikatakan bahwa sejak lahir, dia sudah disebut sebagai makhluk sosial.
Hakekat manusia sebagai makhluk sosial dan politik akan membentuk hukum, mendirikan kaidah perilaku, serta bekerjasama dalam kelompok yang lebih besar. Dalam perkembangan ini, spesialisasi dan integrasi atau organissai harus saling membantu. Sebab kemajuan manusia nampaknya akan bersandar kepada kemampuan manusia untuk kerjasama dalam kelompok yang lebih besar. Kerjasama sosial merupakan syarat untuk kehidupan yang baik dalam masyarakat yang saling membutuhkan.
Kesadaran manusia sebagai makhluk sosial, justru memberikan rasa tanggungjawab untuk mengayomi individu yang jauh lebih ”lemah” dari pada wujud sosial yang ”besar” dan ”kuat”. Kehidupan sosial, kebersamaan, baik itu non formal (masyarakat) maupun dalam bentuk-bentuk formal (institusi, negara) dengan wibawanya wajib mengayomi individu.
3. Pengembangan Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Di dalam kehidupannya, manusia tidak hidup dalam kesendirian. Manusia memiliki keinginan untuk bersosialisasi dengan sesamanya. Ini merupakan salah satu kodrat manusia adalah selalu ingin berhubungan dengan manusia lain. Hal ini menunjukkan kondisi yang interdependensi. Di dalam kehidupan manusia selanjutnya, ia selalu hidup sebagai warga suatu kesatuan hidup, warga masyarakat, dan warga negara. Hidup dalam hubungan antaraksi dan interdependensi itu mengandung konsekuensi-konsekuensi sosial baik dalam arti positif maupun negatif. Keadaan positif dan negatif ini adalah perwujudan dari nilai-nilai sekaligus watak manusia bahkan pertentangan yang diakibatkan oleh interaksi antarindividu. Tiap-tiap pribadi harus rela mengorbankan hak-hak pribadi demi kepentingan bersama Dalam rangka ini dikembangkanlah perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan. Pada zaman modern seperti saat ini manusia memerlukan pakaian yang tidak mungkin dibuat sendiri.
Tidak hanya terbatas pada segi badaniah saja, manusia juga mempunyai perasaaan emosional yang ingin diungkapkan kepada orang lain dan mendapat tanggapan emosional dari orang lain pula. Manusia memerlukan pengertian, kasih saying, harga diri pengakuan, dan berbagai rasa emosional lainnya. Tanggapan emosional tersebut hanya dapat diperoleh apabila manusia berhubungan dan berinteraksi dengan orang lain dalam suatu tatanan kehidupan bermasyarakat. Dalam berhubungan dan berinteraksi, manusia memiliki sifat yang khas yang dapat menjadikannya lebih baik. Kegiatan mendidik merupakan salah satu sifat yang khas yang dimiliki oleh manusia. Imanuel Kant mengatakan, “Manusia hanya dapat menjadi manusia karena pendidikan”. Jadi jika manusia tidak dididik maka ia tidak akan menjadi manusia dalam arti yang sebenarnya. Hal ini telah terkenal luas dan dibenarkan oleh hasil penelitian terhadap anak terlantar. Hal tersebut memberi penekanan bahwa pendidikan memberikan kontribusi bagi pembentukan pribadi seseorang.
Dengan demikian manusia sebagai makhluk sosial berarti bahwa disamping manusia hidup bersama demi memenuhi kebutuhan jasmaniah, manusia juga hidup bersama dalam memenuhi kebutuhan rohani.
Manusia sebagai makhluk sosial tentu tidak mungkin bisa memisahkan hidupnya dengan manusia lain. Sudah bukan rahasia lagi bahwa segala bentuk kebudayaan, tatanan hidup, dan sistem kemasyarakatan terbentuk karena interaksi dan benturan kepentingan antara satu manusia dengan manusia lainnya. Sejak zaman prasejarah hingga sejarah, manusia telah disibukkan dengan keterciptaan berbagai aturan dan norma dalam kehidupan berkelompok mereka. Dalam kelindan berbagai keterciptaan itulah ilmu pengetahuan terbukti memainkan peranan signifikan.
Ilmu pengetahuan tidak hanya dapat dipahami dalam arti sebuah hukum atau teori ilmiah sebagai hasil statis kegiatan utamanya. Ilmu pengetahuan harus dipandang juga sebagai sebuah proses, sebuah kegiatan, dan tentu saja sebuah kemampuan yang harus dimiliki oleh para ilmuwan. Mahasiswa yang akan diorientasikan untuk menjadi sosok ilmuwan yang peka atas permasalahan sosial kemasyarakatan diharapkan mampu larut dalam proses keterciptaan ilmu pengetahuan tersebut.
3. Hubungan Manusia
Dengan dinyatakan bahwa Manusia adalah makhluk Sosial, maka diperlukan hubungan dan interaksi antara sesama manusia. Pada dasarnya, hubungan manusia sebagai makhluk sosial tidak melulu kepada hubungan kepada sesama manusia, namun lebih dari pada itu, yaitu hubungan yang dibagi menjadi 2, hubungan vertikal, dan hubungan horizontal.
a. Hubungan Vertikal
Hubungan Vertikal ini merupakan hubungan kita sebagai manusia dengan khalik, atau sang pencipta. Kita sebagai makhluk Nya, hendaklah memiliki hubungan yang baik dengan Allah, karena Allah lah yang membenarkan dan menyalahkan segala aktivitas kita, karena Allah lah yang satu satunya dapat memberi pertolongan, tanpa bunga, dan imbalan, hanya Allah lah yang dapat menerima keluh kesah kita sebagai hamba Nya. Semoga, kita sebagai hamba Nya dapat senantiasa menjalankan perintah Nya, dan menjauhi segala larangan Nya, Aamiin.
b. Hubungan Horizontal
Hubungan horizontal ini adalah hubungan terhadap segala ciptaan Allah SWT, yang dibagi menjadi hubungan antara sesama makhluk hubungan antara sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan Alam.
• Hubungan antara sesama makhluk (Makhluk ~ Makhluk)
Kita sebagai manusia, hendaklah memiliki hubungan baik dengan sesama makhluk Allah SWT, langkah awalnya adalah dengan saling menghormati satu sama lain, saling tolong menolong dan melindungi satu sama lain. Seperti contoh hubungan manusia dengan hewan dan tumbuhan. Hendaklah manusia untuk tidak mengusil dan merusak hewan dan tumbuhan yang terutama tidak bersalah, karena pada dasarnya, jika kita berbuat baik, kita akan dibalas walaupun bukan darinya.
• Hubungan antara sesama manusia (Manusia ~ Manusia)
Khususnya ini, kita harus memiliki hubungan baik dengan sesama manusia, pada umumnya adalah kepada sesama umat beragama, walau tidak se akidah. Pada khususnya hubungan baik sesama muslim dan muslimah. Dengan hubungan baik, kita dapat menjalin persahabatan dan persaudaraan secara baik, rekat, tidak mudah goyah, namun setiap permasalahan pasti dapat diselesaikan secara tepat dan cepat dikarenakan hubungan baik kita sesama manusia.
• Hubungan antara manusia dengan alam (Manusia ~ Alam)
Hubungan baik manusia dengan alam adalah salah satunya dengan manusia Sebagai Khalifa di bumi, hendaknya menjaga alamnya untuk kebaikan, dengan merawat, dengan saling menghargai sesama makhluk Allah SWT., dan dengan tidak merusaknya, karena yang seperti kita tahu bahwa alam akan membalas tepat dengan apa yang kita lakukan padanya, entah itu berbentuk material, seperti merawat dan terus melakukan penghijauan, ataupun dengan berbentuk attitude, seperti sikap dan perilaku dan tingkah laku selama berada dalam lingkup alam itu, terutama akhlak. Contohnya adalah baru baru ini, bencana alam banyak terjadi di I domestik dalam 2018 ini, seperti contoh tsunami dan gempa di Palu dan Lombok, yang menurut kabar yang beredar, banyak pelanggaran yang dibenarkan disana, Naudzubillah. Jadi, intinya, jika kita menjaga alam kota, alam akan memberi lebih.
*IBADAH GHAIR MAHDHAH
Maksud dari ibadah mahdhah adalah ibadah yang murni hubungan antara manusia dengan Allah. Jenis-jenis ibadah yang termasuk ibadah mahdhahadalah : wudhu, tayammum, mandi suci dari hadats, adzan, iqamat, shalat, membaca Alquran, i’tikaf di masjid, puasa, haji, umrah, tajhiz al-janazah [penyelenggaraan jenazah].
Adapun ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang bukan murni berhubungan secara langsung dengan Allah. Dalam istilah lain dikatakan bahwa semua bentuk amal kegiatan yang tujuannya untuk taqarrub ilallah, serta tempat dan waktunya tidak diatur secara rinci oleh Allah, maka itu disebut sebagai ibadah ghairu mahdhah. Di antara ibadah yang termasuk ibadah ghairu mahdhah adalah sedekah, infaq, membuang sesuatu yang dapat menghalangi orang di jalan, belajar, mengajar, dzikir, dakwah, tolong menolong, gotong royong, rukun dengan tetangga dan lain sebagainya, bahkan termasuk juga perilaku yang terpuji.
Intinya adalah bahwa yang harus diperhatikan dalam ibadah ghairu mahdhah adalah :
1. Tidak adanya dalil baik dari Alquran dan pun Nabi yang melarang melakukan ibadah ghairu mahdhah. Artinya, selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang tau mengharamkan maka ibadah bentuk ini boleh dilaksanakan.
2. Pola atau style pelaksanaan ibadah tersebut tidak selalu persis sama seperti pola yang dilakukan Nabi. Misalnya, cara berinfaq dan bersedekah, jumlah yang diinfaqkan dan disedekahkan atau yang lainnya. Semuanya itu tidak harus sama dengan yang dilakukan nabi.
3. Ibadah yang dilakukan adalah ibadah yang logis, sehingga baik atau buruk, untung atau pun rugi, bermanfaat atau mengandung mudarat, semuanya dapat ditentukan oleh akal atau logika. Oleh karena itu jika menurut akal sehat, amal yang dianggap ibadah tersebut mengandung keburukan, merugikan, dan berakibat mudharat, maka amal tersebut tidak boleh dilakukan.
4. Mengandung asas manfaat. Artinya selama amal atau perbuatan yang itu mengandung manfaat, maka ia dapat dikatakan ibadah ghairu mahdhah dan hal ini dibolehkan melakukannya.
Khususnya dalam tulisan ini, yang difokuskan adalah berkaitan dengan kaidah-kaidah fikih [qawaid al-fiqhiyyah] yang berhubungan dengan ibadah mahdhah.
Kaidah-kaidah tersebut adalah :
۱. الأَصْلُ فِى الْعِبَادَةِ التَّوْفِيْقِ وَالْإِتْبَاعِ
“Hukum asal dalam ibadah adalah menunggu dan mengikuti tuntunan syari’ah”.
Maksud dari kaidah ini adalah dalam melaksanakan ibadah mahdah, harus ada dalil yang menunjukkan untuk dapat diikuti tuntunannya. Selain dari kaidah di atas, ada pula kaidah lain yang memiliki maksud yang sama dengan kaidah di atas,yaitu :
الْأَصْلُ فِى الْعِبِادَةِ البُطْلَانُ حَتَّى يَقُوْمَ الدَّلِيْلُ عَلَى الْأَمْرِ
“Hukum asal dalam ibadah mahdah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya”.
Kedua kaidah di atas mengandung pengertian yang sama, yakni setiap ibadah mahdah yang kita laksanakan haruslah ada dalil yang menunjukkannya, baik itu dari Alquran maupun Hadis (Sunnah) Nabi SAW. Karena ibadah mahdah tidak sah apabila tanpa ada dalil yang memerintahkannya atau yang menganjurkannya. Contohnyasalah satunya seperti shalat wajib lima waktu atau macam-macam ibadah mahdhah yang disebutkan sebelumnya.
Sebagian masyarakat muslim ada yang menggunakan kaidah ini untuk menyatakan tidak ada ritual atau ibadah yang perlu dilakukan selain dari yang ditentukan nabi, sehingga masyarakat muslim ini pun cenderung mengatakan bahwa orang yang melakukan ibadah tersebut, seperti shalat hadiah, haulan, menyelenggarakan acara-acara peringatan dan lain-lain termasuk perbuatan yang sia-sia, karena tidak ada tuntunan dan tuntutan dari Allah maupun Nabi.
Apabila bersandarkan kepada kaidah di atas, sebenarnya seperti itulah yang dapat dijadikan pegangan, sebab ibadah mahdhah tersebut harus berdasarkan adanya dasar dari agama yang memerintahkannya. Namun demikian, saya lebih cenderung sependapat dengan pendapatnya Syekh Nawawi Albantani dalam kitanya Nihayatuz Zain bahwa shalat sunnah seperti shalat hadiah dan yang lainnya yang tidak ada tuntunannya baik dari Alquran atau pun hadis nabi boleh dilakukan. Saya meyakini Allah Maha Tahu maksud seseorang melakukan segala bentuk ibadah. Hal ini sesuai dengan kaidah الأمور بمقادها seperti yang telah dibahas pada artikel sebelumnya bahwa setiap sesuatu tergantung dari niatnya. Maksudnya walaupun ibadah yang dilakukan tidak ada tuntunannya, terlebih tidak ada tuntutannya, tetapi tetap dilakukan karena niatnya juga baik, maka hasilnya pun juga baik. Allah pasti mengetahui hal tersebut.
Kendati demikian, saya juga mengakui bahwa apabila hanya mengandalkan niat seperti pada kaidah di atas, tetapi tidak adanya dasar yang kuat, maka hal tersebut juga berpeluang untuk dikatakan sebagai ibadah yang sia-sia.
Berdasarkan adanya polemik ini, saya lebih cenderung untuk mengambil jalan tengah bahwa sekecil apa pun kebaikan yang kita lakukan, pasti Allah memberikan balasan yang berlipat ganda, lihat dalam Q.S. an-Nisa [4: 20]. Selain itu selama bacaan-bacaan, gaya dan gerak gerik ibadah tersebut dilakukan tidak berbeda dengan bacaan-bacaan, gaya dan gerak gerik seperti dalam ibadah mahdhah, maka menurut hemat saya juga bukan merupakan ibadah yang sia-sia. Begitu juga dengan amalan-amalan yang lain seperti yang disebutkan sebelumnya.
Satu hal yang membuat saya lebih cenderung dan mantap untuk membolehkan ibadah yang tetapi tidak ada tuntunan dan tuntutan dari Allah dan Nabi, bahwa dengan melakukan ibadah tersebut tidak ada dampak yang mempengaruhi kualitas iman seseorang kepada Allah dan tidak ada pula dampak berupa penyakit yang timbul hanya karena melakukan ibadah tersebut.
Berbeda halnya, apabila ibadah tersebut dilakukan akan membuat syirik atau dilakukannya ibadah itu dapat menimbulkan penyakit, maka tentunya tidak boleh dilakukan.
Saya yakin kecenderungan saya ini, banyak yang tidak sependapat, tetapi Insya Allah alasan yang saya kemukakan termasuk hal yang logis. Selanjutnya kaidah yang kedua adalah :
۲ .طَهَارَةُ الْأَحْدَاثِ لَا تَتَوَقَّتْ.
“Suci dari hadas tidak ada batas waktu”.
Maksud dari kaidah ini adalah apabila seseorang telah bersuci baik dari hadas besar maupun kecil, maka tetap ia dalam keadaan suci selama tidak ada hal-hal yang meyakinkan bahwa ia batal. Contohnya seperti seseorang yang telah berwudhu, dan selama ia tidak merasa yakin akan batalnya dari wudhu tersebut dan tidak ada pula indikasi-indikasi yang meyakinkan batalnya wudhu, maka ia tetap dalam keadaan suci. Kaidah ini dapat dikaitkan dengan kaidah fikih yang lain seperti yang dikemukakan pada artikel sebelumnya, yaitu :
الْيَقِيْنُ لَايُزَالُ بِاشَّكِ.
“Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”.
Kaidah berikutnya adalah :
۳. التَّلَبَسُ بِالْعِبَادَةِ وَجَبَ إِتْمَامُهَا.
“Percampuran dalam ibadah mewajibkan menyempurnakannya”.
Maksud dari kaidah ini adalah ada dua macam kemungkinan, yaitu menyempurnakan ibadah atau berpindah kepada keringanan. Percampuran ini sendiri menyebabkan keserupaan, kebingungan, dan kesulitan. Kaidah ini menjelaskan bahwa orang yang dalam keadaan demikian wajib menyempurnakannya.
Contohnya, jika seseorang sedang berpuasa ramadhan, kemudian ingin melakukan perjalanan yang jauh. Ia berpikir, apakah harus tetap ia berpuasa atau membatalkan puasanya karena bepergian tersebut. Apabila berdasarkan kaidah di atas, maka ia harus tetap berpuasa.
Akan tetapi karena adanya perjalanan [safar] merupakan illah hukum bolehnya [rukhsah] tidak berpuasa, maka seseorang tersebut dibolehkan tidak berpuasa. Walaupun di dalam perjalanan tersebut tidak ditemukan adanya kesulitan seperti yang terdapat pada kaidah الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ seperti pada artikel sebelumnya.
Contoh lainnya tentang puasa. Misalnya seseorang ingin membayar puasa ramadhan dan ketika di pertengahan puasanya, ia teringat bahwa pada hari itu adalah hari senin, sehingga ia ingin juga menggabungnya dengan puasa senin, maka orang yang dalam keadaan ini, tidak dapat mencampurkan dua ibadah tersebut dan ia harus menyelesaikan pembayaran puasa tersebut.
Kaidah selanjutnya :
٤. لَاقِيَاسَ فِى الْعِبَادَةِ غَيْرِ مَعْقُلِ الْمَعْنَى.
“Tidak bisa digunakan analogi (qiyas) dalam ibadah yang tidak bisa dipahami maksudnya”.
Kaidah di atas adalah kaidah yang diperselisihkan di antara para ulama, sebab ketentuan pokoknya yaitu qiyas juga menjadi perdebatan para ulama. Kendati demikian, dalam artikel ini kaidah di atas tetap dibahas, karena berkaitan dengan ibadah mahdhah.
Maksud dari kaidah itu adalah untuk membatasi penggunaan qiyas. Qiyas yang dimaksudkan di sini adalah rasional atau logika. Artinya segala bentuk ibadah sebenarnya bisa saja dipikirkan dan dinalar karena ‘illah [motif timbulnya hukum] hukum ibadah tersebut dapat diketahui, namun karena ada pula ‘illah hukum ibadah yang tidak bisa dinalar. Dengan demikian, maka ibadah ini tidak bisa diqiyas [dinalar] sehingga diterima apa adanya.
Contohnya : shalat gerhana matahari atau gerhana bulan yang tidak dapat diketahui ‘illahhukumnya, sehingga para ulama pun melakukannya dengan ta’abbudi. Begitu juga ketika shalat maghrib, dua raka’at pertama dengan jahr [suara yang jelas], namun pada 1 raka’at yang terakhir dilakukan dengan sirr[hanya kedengaran oleh diri sendiri]. ‘Illah hukum kenapa raka’at terakhir dengan sirr tidak dapat diketahui. sama halnya dengan 2 raka’at terakhir shalat Isya. Oleh karena itu, semua diterima secara ta’abbudi.
Kaidah selanjutnya :
٥. تَقْدَيْمُ الْعِبَادَةِ قَبْلَ وَجُوْدِ سَبَبِهَا لَا يَصِحُّ.
“Tidaklah sah mendahulukan ibadah sebelum ada sebabnya”.
Kaidah ini bermaksud tidak bisa kita mendahulukan suatu ibadah sebelum tiba waktunya, waktu yang telah ditentukan kapan ibadah tersebut harus dilakukan. Contohnya seperti shalat lima waktu, jika belum sampai waktunya tidak sah shalat yang dilakukan, kecuali ada hal-hal tertentu, misalnya menjamak shalat.
Kaidah berikutnya :
٦. كُلُّ بُقْعَةٍ صَحَّتْ فِيْهَا النَّافِلَةُ عَلَى الْإِطْلَاقِ صَحَّتْ فِيْهَا الْفَرِيْضَةُ.
“Setiap tempat yang sah digunakan untuk shalat sunnah secara mutlak, sah pula digunakan shalat fardhu”.
Selama tempat tersebut bersih dan bisa digunakan untuk shalat, maka hal tersebut boleh untuk melaksanakan shalat. Contohnya, boleh atau sah melakukan shalat idul fitri atau idul adha di lapangan, maka sah pula melakukan shalat fardhu di tempat tersebut, selama tempat tersebut bersih dan suci.
Selanjutnya :
٧. الْإِثَارُ فِى الْقُرْبِ مَكْرُوْهٌ وَفِى غَيْرِهَا مَحْبُوْبٌ.
“Mengutamakan orang lain pada urusan ibadah adalah makruh dan dalam urusan selainnya disenangi”.
Maksud kaidah ini adalah makruh jika mendahulukan orang lain dalam masalah ibadah. Akan tetapi, tidak jadi masalah jika mendahulukan orang lain dalam hal duniawi atau masalah sosial di masyarakat. Contohnya, makruh mengutamakan orang untuk shalat di shaf pertama, sementara kita mengalah di shaf kedua. Jelas hukumnya makruh, walaupun dengan pimpinan atau orang tua.
Akan tetapi, jika kita mendahulukan seseorang misalnya dalam suatu antrian [terlebih dengan yang sudah tua sekali], maka hal tersebut tidak jadi masalah, selama kita tidak bergegas pula.
Kaidah berikutnya :
٨. الْفَضِيْلَةُ الْمُتَعَلِّقَةُ بِنَفْسِ الْعِبَادَةِ أَوْلَى مِنَ الْمُتَعَلِّقَةِ بِمَكَانِهَا.
“Keutamaan yang dikaitkan dengan ibadah sendiri adalah lebih utama daripada yang dikaitkan dengan tempatnya”.
Maksud dari kaidah ini, ada keterkaitan antara perbuatan ibadah seseorang dengan tempat dan antara beribadah sendirian dengan berjamaah. Contohnya, shalat di lingkungan ka’abah lebih utama di luar ka’bah, namun apabila shalat di luar ka’bah secara berjama’ah maka lebih utama dibandingkan dengan shalat di lingkungan ka’bah tapi sendirian.
Begitu juga shalat di luar ka’bah, apabila dilakukan secara berjama’ah, maka lebih utama jika dibandingkan dengan sendirian. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi :
(صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً. ﴿متفق عليه
“Shalat berjamaah lebih utama dua puluh tujuh derajat daripada shalat sendirian.” (Muttafaqun alaihi).
Selanjutnya :
٩. الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْمَقْبِرَة وَالْحَمَّام.
“Bumi ini seluruhnya adalah masjid kecuali kuburan dan kamar mandi”.
Maksud kaidah di atas adalah dimana saja kita berada asalkan bersih dari najis maka kita boleh melakukan shalat karena semuanya dianggap mesjid, kecuali di kuburan dan kamar mandi.
Dilarangnya di kuburan, karena dikhawatirkan akan timbulnya anggapan orang lain bahwa kita menyembah ke kuburan. Dilarangnya shalat di kamar mandi, karena semua orang sudah mengetahui bahwa kamar mandi merupakan tempat untuk membersihkan diri baik mandi atau pun buang hadas.
Timbul suatu pertanyaan, apakah boleh shalat di gereja? Berdasarkan kaidah tersebut, dibolehkan melakukan shalat di gereja atau tempat ibadah agama lain. Permasalahannya hanya kurang etis, selain itu bertentangan pula dengan kaidah sebelumnya yang menyebutkan ”Keutamaan yang dikaitkan dengan ibadah sendiri adalah lebih utama daripada yang dikaitkan dengan tempatnya”.
Berikutnya :
۱۰. الْخَوْفُ يُبِيْحُ قَصْرَ صِفَةِ الصًّلَاةِ.
“Kekhawatiran membolehkan qhasar shalat”.
Kaidah di atas dapat menjadi pegangan bagi seseorang, jika dalam suatu keadaan yang mendesak, dibolehkan untuk melakukan qhasar shalat. Contohnya, seseorang yang akan menuju suatu kota dan ia menumpang suatu armada bus, saat transit di sebuah tempat, dan armada bus tersebut hanya mampir sebentar, maka seseorang tersebut boleh mengqhasar shalat, karena ditakutkannya akan ketinggalan bus tersebut.
۱۱. الْعِبَادَةُ الْوَارِدَةُ عَلَى وُجُوْهٍ مُتَنَوِّعَةٍ يَجُوْزُ فِعْلَهَا جَمِيْعِ تِلْكَ الْوُجُوْهِ الْوَارِدَةِ فِيْهَا.
“Ibadah yang kedatangannya (ketentuannya) dalam bentuk yang berbeda-beda, boleh melakukannya dengan cara keseluruhan bentuk-bentuknya”.
Maksud dari kaidah ini adalah, banyak cara dalam melakukan satu macam ibadah. Karena itu boleh memilih salah satu cara, bahkan yang mudah, asal konsisten melakukannya, namun dalam suatu waktu, boleh menggunakan cara yang lain, dan bahkan suatu waktu boleh juga menggabungkan cara-cara tersebut karena keseluruhannya mencontoh dari hadis nabi.
Contohnya, boleh saja melakukan shalat dhuha dua rakaat, meski lebih dari dua rakaat juga boleh, namun yang lebih bagus adalah yang dapat membuat kita konsisten melakukannya. Suatu waktu bisa saja kita melakukan lebih dua rakat. Sama halnya juga terkait dengan bacaan-bacaan dalam shalat, misalnya doa iftitah yang kita ketahui ada berbagai macam. Masih banyak lagi contoh-contoh yang lain.
Kaidah selanjutnya :
۱۲. الْجُزْءُ الْمُنْفَصَلُ مِنَ الْحَيِّ كَمَيْتَتِهِ.
“Bagian yang terpisah dari binatang yang hidup hukumnya seperti bangkai binatang tersebut”.
Maksud dari kaidah di atas yakni, apabila ada salah satu bagian binatang yang terpisah dari bagian tubuhnya yang masih hidup, maka yang terpisah itu hukumnya seperti bangkai. Contohnya, seekor sapi yang kakinya terpotong, maka hukum dari kaki tersebut adalah haram menurut kaidah di atas, karena bagian lainnya masih hidup, sehingga yang terpisah itu hukumnya sama seperti bangkai.
Kaidah berikutnya adalah :
كُلُّ مَنْ وُجِبَ عَلَيْهِ شَيْءٌ فَفَاتَ لَزِمَهُ قَضَاؤُهُ.
“Setiap sesuatu yang diwajibkan kepada seseorang, kemudian dia lewatkan (tidak dilakukan), maka dia wajib meng-qadhanya”.
Kaidah ini terkenal dilakukan oleh ulama Syafi’iyyah, sehingga apabila ada kewajiban yang tertinggal dilaksanakan, seperti shalat wajib, maka ia wajib mengqadhanya, kecuali untuk wanita yang meninggalkan shalat karena haidh, maka kaidah ini tidak diberlakukan pada mereka.
Namun tidak sedikit juga ulama yang tidak menerapkan kaidah di atas, sehingga apabila ada kewajiban yang tertinggal atau tidak dilakukannya, maka kewajiban tersebut tidak bisa diqadha. Contohnya seperti tidak adanya qadha untuk shalat wajib.
Khusus untuk puasa wajib di bulan Ramadhan, para ulama sepakat bagi yang meninggalkannya diwajibkan untuk membayar di hari yang lain di luar bulan ramadhan dan termasuk pula wanita yang tidak berpuasa karena haidh. Hal ini sesuai dengan Q.S. al-Baqarah [2: 184] :yang artinya :
Dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Ada kaidah yang dipakai dalam kalangan Malikiyyah, tetapi pada mazhab lainnya tidak digunakan, yakni:
كُلَّ مَا يُفْسِدُ الْعِبَادَة عَمْدًا يُفْسِدُهَا سَهْوًا.
“Setiap yang merusak (membatalkan ibadah) karena sengaja, maka hal tersebut membatalkannya pula karena lupa”.
Kaidah di atas menunjukkan kehati-hatian dalam ibadah, apabila tidak sengaja melakukan kesalahan karena lupa atau hal lain yang dapat merusak ibadah, maka hal tersebut sama membatalkan ibadah tersebut. Contohnya seseorang yang sedang berpuasa kemudian makan, maka puasanya batal, walaupun makan itu karena lupa. Namun menurut mazhab ini ia tidak berdosa.
Berbeda halnya dengan pendapat yang lain, lupa adalah salah satu unsur yang dapat dimaafkan dalam ibadah, sebagaimana kaidah di bawah ini:
مَا لَايُمْكِنُ الْإِحْتِرَازِ مِنْهُ مَعْفُوٌ عَنْهُ.
“Apa yang tidak mungkin dalam menjaganya, maka hal itu dimaafkan”.
Kalau kita lihat pada kaidah di atas, maka ketidaksengajaan tersebut dapat dimaafkan. Selain itu, ada hadis Nabi SAW yang menyebutkan bahwa “Barang siapa yang lupa makan dan minum, padahal dia sedang puasa, maka teruskan puasanya, karena Allah SWT memberi makan dan minum kepadanya”.
Kaidah berikutnya :
۱۳. لَاتَجِبُ فِى عَيْنِ وَاحِدَةٍ زَكَاتَانِ.
“Dalam satu jenis benda tidak wajib dua kali zakat”.
Kaidah ini bermaksud, apabila dalam satu benda yang sama, maka zakat yang dikeluarkan pun hanya sekali saja. Contohnya, seorang pedagang obat yang jika harta kekayaannya ditaksir sudah cukup memenuhi wajib zakat, maka zakat wajibnya hanya sekali setahun, meski kekayaannya sangat melimpah. Tetapi apabila pedagang obat ini memiliki juga usaha yang lain seperti memiliki perkebunan yang luas, maka ia diwajibkan juga berzakat dari hasil perkebunan tersebut.
Kaidah yang terakhir adalah :
. مَنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ فِطْرَتُهُ وَجَبَتْ عَلَيْهِ فِطْرَةُ كُلِّ مَنْ تَلْزَمَهُ.
“Barangsiapa yang diwajibkan kepadanya zakat fitrah, maka wajib pula baginya mengeluarkan zakat fitrah bagi orang yang dia wajib menafkahinya”.
Demikian yang dapat saya tulis dalam blog kali ini, semoga apapun yang dapat saya tuangkan dalam blog ini, dapat bermanfaat kedepannya bagi para pembaca, Aamiin.
Billahitaufik wal hidayah
Wassalamualaikum Warohmatullah Wabarakatuh
Sumber :
https://freemanof.wordpress.com/tugas/manusia_sebagai_makhluk_sosial/
http://haykal-hmj.blogspot.com/2015/01/ibadah-mahdhah-dan-ibadah-ghairu-mahdhah.html?m=1
Selasa, 9 oktober 2018
Assalamualaikum Warohmatullah Wabarakatuh
Pertama tama marilah kita mengucap syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT, yang mana karena limpahan rahmat dan hidayah nya kita masih diberikan kesehatan dan keselamatan, Aamiin Yaa rabbal alamin.
Kedua, shalawat wa salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang kita tunggu tunggu syafa’at nya pada akhir zaman.
Baik pembaca sekalian, saya akan memposting tentang “Manusia Makhluk Sosial “ sebagai pertemuan ke lima, namun materi ke 6 dalam Perkuliahan saya, semoga postingan saya dalam blog ini bermanfaat bagi kita yang membacanya, Aamiin.
Manusia Makhluk Sosial. Manusia adalah makhluk yang membutuhkan satu sama lain. Manusia tidak dapat hidup sendiri atau tanpa orang lain, sesuatu yang dilakukan setiap manusia, pasti terdapat campur tangan manusia lainnya. Oleh karenanya, agar aktivitas berjalan dengan baik, maka hubungan antara manusia satu sama lain harus juga baik.
1. Pengertian
Manusia adalah makhluk sosial yang hidup bermasyarakat (zoon politicon). Keutuhan manusia akan tercapai apabila manusia sanggup menyelaraskan perannya sebagai makhluk ekonomi dan sosial. Sebagai makhluk sosial (homo socialis), manusia tidak hanya mengandalkan kekuatannya sendiri, tetapi membutuhkan manusia lain dalam beberapa hal tertentu. Misalnya, dalam lingkungan manusia terkecil yaitu keluarga. Dalam keluarga, seorang bayi membutuhkan kasih sayang kedua orang tuanya agar dapat tumbuh dan berkembang secara baik dan sehat.
Manusia tidak dapat mencapai apa yang diinginkan dengan dirinya sendiri. Karena manusia menjalankan peranannya dengan menggunakan simbol untuk mengkomunikasikan pemikiran dan perasaannya. Manusia tidak dapat menyadari individualitas, kecuali melalui medium kehidupan sosial.
Sebagai masyarakat Indonesia, setiap manusia saling membutuhkan satu sama lainnya tentunya dalam hal yang positif. Saling bersosialisasi antara satu sama lainnya membuat interaksi yang kuat untuk mengenal kepribadian manusia lain. Manusia yang mudah bersosialisasi adalah manusia yang dapat atau mampu menjalankan komunikasi dengan baik dengan lingkungan sekitarnya. Dengan berlandaskan Pancasila manusia sebagai makhluk yang sosial dan budaya disatukan untuk saling menghormati dan menghargai antara manusia yang memiliki budaya yang berbeda-beda.
Manusia sebagai makhluk sosial. Manusia sejak lahir sampai mati selalu hidup dalam masyarakat, tidak mungkin manusia di luar masyarakat. Aristoteles mengatakan bahwa makhluk hidup yang tidak hidup dalam masyarakat ialah sebagai seorang malaikat atau seorang hewan.
Di India oleh Mr. Singh didapatkan dua orang anak yang berumur 8 tahun dan 1 ½ tahun. Pada waktu masih bayi anak-anak tersebut diasuh oleh serigala dalam sebuah gua. Setelah ditemukan kemudian anak yang kecil mati, tersisa yang besar. Selanjutnya, walaupun ia sudah dilatih hidup bermasyarakat sifatnya masih seperti serigala, kadang-kadang meraung-raung di tengah malam, suka makan daging mentah, dan sebagainya. Juga di Amerika dalam tahun 1938, seorang anak berumur 5 tahun kedapatan di atas loteng. Karena terasing dari lingkungan dia meskipun umur 5 tahun belum juga dapat berjalan dan bercakap-cakap. Jadi jelas bahwa manusia meskipun mempunyai bakat dan kemampuan, namun bakat tersebut tidak dapat berkembang, Itulah sebabnya manusia dikatakan sebagai makhluk sosial (Hartomo, 2000: 77).
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa manusia lainnya. Misalnya saja hubungan sosialisasi antar tetangga , dengan adanya interaksi sosial antar tetangga akan mempermudah kita dalam mengatasi masalah di sekitar yang membutuhkan bantuan dari manusia lainnya. Jadi itulah mengapa manusia dikatakan sebagai makhluk sosial.
2. Esensi Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Esensi manusia sebagai makhluk sosial pada dasarnya adalah kesadaran manusia tentang status dan posisi dirinya adalah kehidupan bersama, serta bagaimana tanggungjawab dan kewajibannya di dalam kebersamaan.
Dibawah ini merupakan faktor-faktor yang mendorong manusia untuk hidup bermasyarakat.
Faktor-faktor itu adalah:
1. Adanya dorongan seksual, yaitu dorongan manusia untuk mengembangkan keturunan atau jenisnya.
2. Adanya kenyataan bahwa manusia adalah serba tidak bisa atau sebagai makhluk lemah. Karena itu ia selalu mendesak atau menarik kekuatan bersama, yang terdapat dalam perserikatan dengan orang lain.
3. Karena terjadinya habit pada tiap-tiap diri manusia. Manusia bermasyarakat karena ia telah biasa mendapat bantuan yang berfaedah yang diterimanya sejak kecil dari lingkungannya.
4. Adanya kesamaan keturunan, kesamaan teritorial, nasib, keyakinan/cita-cita, kebudayaan, dan lain-lain.
Faktor-faktor lain yang dapat mengatakan manusia adalah makhluk sosial, yaitu :
a. Manusia tunduk pada aturan, norma sosial.
b. Perilaku manusia mengharapkan suatu penilaian dari orang lain.
c. Manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain
d. Potensi manusia akan berkembang bila ia hidup di tengah-tengah manusia.
Secara alamiah manusia berinteraksi dengan lingkungannya, manusia sebagai pelaku dan sekaligus dipengaruhi oleh lingkungan tersebut. Perlakuan manusia terhadap lingkungannya sangat menentukan keramahan lingkungan terhadap kehidupannya sendiri. Manusia dapat memanfaatkan lingkungan tetapi perlu memelihara lingkungan agar tingkat kemanfaatannya bisa dipertahankan bahkan ditingkatkan. Bagaimana manusia mensikapi dan mengelola lingkungannya pada akhirnya akan mewujudkan pola-pola peradaban dan kebudayaan.
Oleh karena, itu manusia sering disebut makhluk sosial, artinya makhluk yang harus hidup bersama dengan manusia lain dalam satu kesatuan yang disebut dengan masyarakat. Disamping itu, manusia adalah makhluk yang menciptakan kebudayaan dengan berbudaya itulah manusia berusaha mencukupi kebutuhan hidupnya. Manusia tidak dapat dilepas dari kebudayaan, dimana ada manusia disitu ada kebudayaan. Kapankah kebudayaan mulai ada dimuka bumi? bersamaan dengan mulai adanya umat manusia dimuka bumi ini.
1. Karakteristik Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Telah berabad-abad konsep manusia sebagai makhluk sosial itu ada yang menitik beratkan pada pengaruh masyarakat yang berkuasa kepada individu. Dimana memiliki unsur-unsur keharusan biologis, yang terdiri dari:
1. Dorongan untuk makan
2. Dorongan untuk mempertahankan diri
3. Dorongan untuk melangsungkan jenis
Dari tahapan diatas menggambarkan bagaimana individu dalam perkembangannya sebagai seorang makhluk sosial dimana antar individu merupakan satu komponen yang saling ketergantungan dan membutuhkan. Sehingga komunikasi antar masyarakat ditentukan oleh peran oleh manusia sebagai makhluk sosial.
Dalam perkembangannya manusia juga mempunyai kecenderungan sosial untuk meniru dalam arti membentuk diri dengan melihat kehidupan masyarakat yang terdiri dari :
1. Penerimaan bentuk-bentuk kebudayaan, dimana manusia menerima bentuk-bentuk pembaharuan yang berasal dari luar sehingga dalam diri manusia terbentuk sebuah pengetahuan.
2. Penghematan tenaga dimana ini adalah merupakan tindakan meniru untuk tidak terlalu menggunakan banyak tenaga dari manusia sehingga kinerja mnausia dalam masyarakat bisa berjalan secara efektif dan efisien.
Pada umumnya hasrat meniru itu kita lihat paling jelas di dalam ikatan kelompok tetapi juga terjadi didalam kehidupan masyarakat secara luas. Dari gambaran diatas jelas bagaimana manusia itu sendiri membutuhkan sebuah interaksi atau komunikasi untuk membentuk dirinya sendiri malalui proses meniru. Sehingga secara jelas bahwa manusia itu sendiri punya konsep sebagai makhluk sosial.
Yang menjadi ciri manusia dapat dikatakan sebagai makhluk sosial adalah adanya suatu bentuk interaksi sosial di dalam hubungannya dengan makhluk sosial lainnya yang dimaksud adalah dengan manusia satu dengan manusia yang lainnya. Secara garis besar faktor-faktor personal yang mempengaruhi interaksi manusia terdiri dari tiga hal yakni :
1. Tekanan emosional. Ini sangat mempengaruhi bagaimana manusia berinteraksi satu sama lain.
2. Harga diri yang rendah. Ketika kondisi seseorang berada dalam kondisi manusia yang direndahkan maka akan memiliki hasrat yang tinggi untuk berhubungan dengan orang lain karena kondisi tersebut dimana orang yang direndahkan membutuhkan kasih sayang orang lain atau dukungan moral untuk membentuk kondisi seperti semula.
3. Isolasi sosial. Orang yang terisolasi harus melakukan interaksi dengan orang yang sepaham atau sepemikiran agar terbentuk sebuah interaksi yang harmonis Manusia adalah makhluk yang selalu berinteraksi dengan sesamanya. Manusia tidak dapat mencapai apa yang diinginkan dengan dirinya sendiri. Sebagai makhluk sosial karena manusia menjalankan peranannya dengan menggunakan simbol untuk mengkomunikasikan pemikiran dan perasaannya. Manusia tidak dapat menyadari individualitas, kecuali melalui medium kehidupan sosial.
Manisfestasi manusia sebagai makhluk sosial, nampak pada kenyataan bahwa tidak pernah ada manusia yang mampu menjalani kehidupan ini tanpa bantuan orang lain.
2. Kedudukan Manusia sebagai Makhluk Sosial
Manusia sebagai makhluk sosial artinya manusia sebagai warga masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak dapat hidup sendiri atau mencukupi kebutuhan sendiri. Meskipun dia mempunyai kedudukan dan kekayaan, dia selalu membutuhkan manusia lain. Setiap manusia cenderung untuk berkomunikasi, berinteraksi, dan bersosialisasi dengan manusia lainnya. Dapat dikatakan bahwa sejak lahir, dia sudah disebut sebagai makhluk sosial.
Hakekat manusia sebagai makhluk sosial dan politik akan membentuk hukum, mendirikan kaidah perilaku, serta bekerjasama dalam kelompok yang lebih besar. Dalam perkembangan ini, spesialisasi dan integrasi atau organissai harus saling membantu. Sebab kemajuan manusia nampaknya akan bersandar kepada kemampuan manusia untuk kerjasama dalam kelompok yang lebih besar. Kerjasama sosial merupakan syarat untuk kehidupan yang baik dalam masyarakat yang saling membutuhkan.
Kesadaran manusia sebagai makhluk sosial, justru memberikan rasa tanggungjawab untuk mengayomi individu yang jauh lebih ”lemah” dari pada wujud sosial yang ”besar” dan ”kuat”. Kehidupan sosial, kebersamaan, baik itu non formal (masyarakat) maupun dalam bentuk-bentuk formal (institusi, negara) dengan wibawanya wajib mengayomi individu.
3. Pengembangan Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Di dalam kehidupannya, manusia tidak hidup dalam kesendirian. Manusia memiliki keinginan untuk bersosialisasi dengan sesamanya. Ini merupakan salah satu kodrat manusia adalah selalu ingin berhubungan dengan manusia lain. Hal ini menunjukkan kondisi yang interdependensi. Di dalam kehidupan manusia selanjutnya, ia selalu hidup sebagai warga suatu kesatuan hidup, warga masyarakat, dan warga negara. Hidup dalam hubungan antaraksi dan interdependensi itu mengandung konsekuensi-konsekuensi sosial baik dalam arti positif maupun negatif. Keadaan positif dan negatif ini adalah perwujudan dari nilai-nilai sekaligus watak manusia bahkan pertentangan yang diakibatkan oleh interaksi antarindividu. Tiap-tiap pribadi harus rela mengorbankan hak-hak pribadi demi kepentingan bersama Dalam rangka ini dikembangkanlah perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan. Pada zaman modern seperti saat ini manusia memerlukan pakaian yang tidak mungkin dibuat sendiri.
Tidak hanya terbatas pada segi badaniah saja, manusia juga mempunyai perasaaan emosional yang ingin diungkapkan kepada orang lain dan mendapat tanggapan emosional dari orang lain pula. Manusia memerlukan pengertian, kasih saying, harga diri pengakuan, dan berbagai rasa emosional lainnya. Tanggapan emosional tersebut hanya dapat diperoleh apabila manusia berhubungan dan berinteraksi dengan orang lain dalam suatu tatanan kehidupan bermasyarakat. Dalam berhubungan dan berinteraksi, manusia memiliki sifat yang khas yang dapat menjadikannya lebih baik. Kegiatan mendidik merupakan salah satu sifat yang khas yang dimiliki oleh manusia. Imanuel Kant mengatakan, “Manusia hanya dapat menjadi manusia karena pendidikan”. Jadi jika manusia tidak dididik maka ia tidak akan menjadi manusia dalam arti yang sebenarnya. Hal ini telah terkenal luas dan dibenarkan oleh hasil penelitian terhadap anak terlantar. Hal tersebut memberi penekanan bahwa pendidikan memberikan kontribusi bagi pembentukan pribadi seseorang.
Dengan demikian manusia sebagai makhluk sosial berarti bahwa disamping manusia hidup bersama demi memenuhi kebutuhan jasmaniah, manusia juga hidup bersama dalam memenuhi kebutuhan rohani.
Manusia sebagai makhluk sosial tentu tidak mungkin bisa memisahkan hidupnya dengan manusia lain. Sudah bukan rahasia lagi bahwa segala bentuk kebudayaan, tatanan hidup, dan sistem kemasyarakatan terbentuk karena interaksi dan benturan kepentingan antara satu manusia dengan manusia lainnya. Sejak zaman prasejarah hingga sejarah, manusia telah disibukkan dengan keterciptaan berbagai aturan dan norma dalam kehidupan berkelompok mereka. Dalam kelindan berbagai keterciptaan itulah ilmu pengetahuan terbukti memainkan peranan signifikan.
Ilmu pengetahuan tidak hanya dapat dipahami dalam arti sebuah hukum atau teori ilmiah sebagai hasil statis kegiatan utamanya. Ilmu pengetahuan harus dipandang juga sebagai sebuah proses, sebuah kegiatan, dan tentu saja sebuah kemampuan yang harus dimiliki oleh para ilmuwan. Mahasiswa yang akan diorientasikan untuk menjadi sosok ilmuwan yang peka atas permasalahan sosial kemasyarakatan diharapkan mampu larut dalam proses keterciptaan ilmu pengetahuan tersebut.
3. Hubungan Manusia
Dengan dinyatakan bahwa Manusia adalah makhluk Sosial, maka diperlukan hubungan dan interaksi antara sesama manusia. Pada dasarnya, hubungan manusia sebagai makhluk sosial tidak melulu kepada hubungan kepada sesama manusia, namun lebih dari pada itu, yaitu hubungan yang dibagi menjadi 2, hubungan vertikal, dan hubungan horizontal.
a. Hubungan Vertikal
Hubungan Vertikal ini merupakan hubungan kita sebagai manusia dengan khalik, atau sang pencipta. Kita sebagai makhluk Nya, hendaklah memiliki hubungan yang baik dengan Allah, karena Allah lah yang membenarkan dan menyalahkan segala aktivitas kita, karena Allah lah yang satu satunya dapat memberi pertolongan, tanpa bunga, dan imbalan, hanya Allah lah yang dapat menerima keluh kesah kita sebagai hamba Nya. Semoga, kita sebagai hamba Nya dapat senantiasa menjalankan perintah Nya, dan menjauhi segala larangan Nya, Aamiin.
b. Hubungan Horizontal
Hubungan horizontal ini adalah hubungan terhadap segala ciptaan Allah SWT, yang dibagi menjadi hubungan antara sesama makhluk hubungan antara sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan Alam.
• Hubungan antara sesama makhluk (Makhluk ~ Makhluk)
Kita sebagai manusia, hendaklah memiliki hubungan baik dengan sesama makhluk Allah SWT, langkah awalnya adalah dengan saling menghormati satu sama lain, saling tolong menolong dan melindungi satu sama lain. Seperti contoh hubungan manusia dengan hewan dan tumbuhan. Hendaklah manusia untuk tidak mengusil dan merusak hewan dan tumbuhan yang terutama tidak bersalah, karena pada dasarnya, jika kita berbuat baik, kita akan dibalas walaupun bukan darinya.
• Hubungan antara sesama manusia (Manusia ~ Manusia)
Khususnya ini, kita harus memiliki hubungan baik dengan sesama manusia, pada umumnya adalah kepada sesama umat beragama, walau tidak se akidah. Pada khususnya hubungan baik sesama muslim dan muslimah. Dengan hubungan baik, kita dapat menjalin persahabatan dan persaudaraan secara baik, rekat, tidak mudah goyah, namun setiap permasalahan pasti dapat diselesaikan secara tepat dan cepat dikarenakan hubungan baik kita sesama manusia.
• Hubungan antara manusia dengan alam (Manusia ~ Alam)
Hubungan baik manusia dengan alam adalah salah satunya dengan manusia Sebagai Khalifa di bumi, hendaknya menjaga alamnya untuk kebaikan, dengan merawat, dengan saling menghargai sesama makhluk Allah SWT., dan dengan tidak merusaknya, karena yang seperti kita tahu bahwa alam akan membalas tepat dengan apa yang kita lakukan padanya, entah itu berbentuk material, seperti merawat dan terus melakukan penghijauan, ataupun dengan berbentuk attitude, seperti sikap dan perilaku dan tingkah laku selama berada dalam lingkup alam itu, terutama akhlak. Contohnya adalah baru baru ini, bencana alam banyak terjadi di I domestik dalam 2018 ini, seperti contoh tsunami dan gempa di Palu dan Lombok, yang menurut kabar yang beredar, banyak pelanggaran yang dibenarkan disana, Naudzubillah. Jadi, intinya, jika kita menjaga alam kota, alam akan memberi lebih.
*IBADAH GHAIR MAHDHAH
Maksud dari ibadah mahdhah adalah ibadah yang murni hubungan antara manusia dengan Allah. Jenis-jenis ibadah yang termasuk ibadah mahdhahadalah : wudhu, tayammum, mandi suci dari hadats, adzan, iqamat, shalat, membaca Alquran, i’tikaf di masjid, puasa, haji, umrah, tajhiz al-janazah [penyelenggaraan jenazah].
Adapun ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang bukan murni berhubungan secara langsung dengan Allah. Dalam istilah lain dikatakan bahwa semua bentuk amal kegiatan yang tujuannya untuk taqarrub ilallah, serta tempat dan waktunya tidak diatur secara rinci oleh Allah, maka itu disebut sebagai ibadah ghairu mahdhah. Di antara ibadah yang termasuk ibadah ghairu mahdhah adalah sedekah, infaq, membuang sesuatu yang dapat menghalangi orang di jalan, belajar, mengajar, dzikir, dakwah, tolong menolong, gotong royong, rukun dengan tetangga dan lain sebagainya, bahkan termasuk juga perilaku yang terpuji.
Intinya adalah bahwa yang harus diperhatikan dalam ibadah ghairu mahdhah adalah :
1. Tidak adanya dalil baik dari Alquran dan pun Nabi yang melarang melakukan ibadah ghairu mahdhah. Artinya, selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang tau mengharamkan maka ibadah bentuk ini boleh dilaksanakan.
2. Pola atau style pelaksanaan ibadah tersebut tidak selalu persis sama seperti pola yang dilakukan Nabi. Misalnya, cara berinfaq dan bersedekah, jumlah yang diinfaqkan dan disedekahkan atau yang lainnya. Semuanya itu tidak harus sama dengan yang dilakukan nabi.
3. Ibadah yang dilakukan adalah ibadah yang logis, sehingga baik atau buruk, untung atau pun rugi, bermanfaat atau mengandung mudarat, semuanya dapat ditentukan oleh akal atau logika. Oleh karena itu jika menurut akal sehat, amal yang dianggap ibadah tersebut mengandung keburukan, merugikan, dan berakibat mudharat, maka amal tersebut tidak boleh dilakukan.
4. Mengandung asas manfaat. Artinya selama amal atau perbuatan yang itu mengandung manfaat, maka ia dapat dikatakan ibadah ghairu mahdhah dan hal ini dibolehkan melakukannya.
Khususnya dalam tulisan ini, yang difokuskan adalah berkaitan dengan kaidah-kaidah fikih [qawaid al-fiqhiyyah] yang berhubungan dengan ibadah mahdhah.
Kaidah-kaidah tersebut adalah :
۱. الأَصْلُ فِى الْعِبَادَةِ التَّوْفِيْقِ وَالْإِتْبَاعِ
“Hukum asal dalam ibadah adalah menunggu dan mengikuti tuntunan syari’ah”.
Maksud dari kaidah ini adalah dalam melaksanakan ibadah mahdah, harus ada dalil yang menunjukkan untuk dapat diikuti tuntunannya. Selain dari kaidah di atas, ada pula kaidah lain yang memiliki maksud yang sama dengan kaidah di atas,yaitu :
الْأَصْلُ فِى الْعِبِادَةِ البُطْلَانُ حَتَّى يَقُوْمَ الدَّلِيْلُ عَلَى الْأَمْرِ
“Hukum asal dalam ibadah mahdah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya”.
Kedua kaidah di atas mengandung pengertian yang sama, yakni setiap ibadah mahdah yang kita laksanakan haruslah ada dalil yang menunjukkannya, baik itu dari Alquran maupun Hadis (Sunnah) Nabi SAW. Karena ibadah mahdah tidak sah apabila tanpa ada dalil yang memerintahkannya atau yang menganjurkannya. Contohnyasalah satunya seperti shalat wajib lima waktu atau macam-macam ibadah mahdhah yang disebutkan sebelumnya.
Sebagian masyarakat muslim ada yang menggunakan kaidah ini untuk menyatakan tidak ada ritual atau ibadah yang perlu dilakukan selain dari yang ditentukan nabi, sehingga masyarakat muslim ini pun cenderung mengatakan bahwa orang yang melakukan ibadah tersebut, seperti shalat hadiah, haulan, menyelenggarakan acara-acara peringatan dan lain-lain termasuk perbuatan yang sia-sia, karena tidak ada tuntunan dan tuntutan dari Allah maupun Nabi.
Apabila bersandarkan kepada kaidah di atas, sebenarnya seperti itulah yang dapat dijadikan pegangan, sebab ibadah mahdhah tersebut harus berdasarkan adanya dasar dari agama yang memerintahkannya. Namun demikian, saya lebih cenderung sependapat dengan pendapatnya Syekh Nawawi Albantani dalam kitanya Nihayatuz Zain bahwa shalat sunnah seperti shalat hadiah dan yang lainnya yang tidak ada tuntunannya baik dari Alquran atau pun hadis nabi boleh dilakukan. Saya meyakini Allah Maha Tahu maksud seseorang melakukan segala bentuk ibadah. Hal ini sesuai dengan kaidah الأمور بمقادها seperti yang telah dibahas pada artikel sebelumnya bahwa setiap sesuatu tergantung dari niatnya. Maksudnya walaupun ibadah yang dilakukan tidak ada tuntunannya, terlebih tidak ada tuntutannya, tetapi tetap dilakukan karena niatnya juga baik, maka hasilnya pun juga baik. Allah pasti mengetahui hal tersebut.
Kendati demikian, saya juga mengakui bahwa apabila hanya mengandalkan niat seperti pada kaidah di atas, tetapi tidak adanya dasar yang kuat, maka hal tersebut juga berpeluang untuk dikatakan sebagai ibadah yang sia-sia.
Berdasarkan adanya polemik ini, saya lebih cenderung untuk mengambil jalan tengah bahwa sekecil apa pun kebaikan yang kita lakukan, pasti Allah memberikan balasan yang berlipat ganda, lihat dalam Q.S. an-Nisa [4: 20]. Selain itu selama bacaan-bacaan, gaya dan gerak gerik ibadah tersebut dilakukan tidak berbeda dengan bacaan-bacaan, gaya dan gerak gerik seperti dalam ibadah mahdhah, maka menurut hemat saya juga bukan merupakan ibadah yang sia-sia. Begitu juga dengan amalan-amalan yang lain seperti yang disebutkan sebelumnya.
Satu hal yang membuat saya lebih cenderung dan mantap untuk membolehkan ibadah yang tetapi tidak ada tuntunan dan tuntutan dari Allah dan Nabi, bahwa dengan melakukan ibadah tersebut tidak ada dampak yang mempengaruhi kualitas iman seseorang kepada Allah dan tidak ada pula dampak berupa penyakit yang timbul hanya karena melakukan ibadah tersebut.
Berbeda halnya, apabila ibadah tersebut dilakukan akan membuat syirik atau dilakukannya ibadah itu dapat menimbulkan penyakit, maka tentunya tidak boleh dilakukan.
Saya yakin kecenderungan saya ini, banyak yang tidak sependapat, tetapi Insya Allah alasan yang saya kemukakan termasuk hal yang logis. Selanjutnya kaidah yang kedua adalah :
۲ .طَهَارَةُ الْأَحْدَاثِ لَا تَتَوَقَّتْ.
“Suci dari hadas tidak ada batas waktu”.
Maksud dari kaidah ini adalah apabila seseorang telah bersuci baik dari hadas besar maupun kecil, maka tetap ia dalam keadaan suci selama tidak ada hal-hal yang meyakinkan bahwa ia batal. Contohnya seperti seseorang yang telah berwudhu, dan selama ia tidak merasa yakin akan batalnya dari wudhu tersebut dan tidak ada pula indikasi-indikasi yang meyakinkan batalnya wudhu, maka ia tetap dalam keadaan suci. Kaidah ini dapat dikaitkan dengan kaidah fikih yang lain seperti yang dikemukakan pada artikel sebelumnya, yaitu :
الْيَقِيْنُ لَايُزَالُ بِاشَّكِ.
“Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”.
Kaidah berikutnya adalah :
۳. التَّلَبَسُ بِالْعِبَادَةِ وَجَبَ إِتْمَامُهَا.
“Percampuran dalam ibadah mewajibkan menyempurnakannya”.
Maksud dari kaidah ini adalah ada dua macam kemungkinan, yaitu menyempurnakan ibadah atau berpindah kepada keringanan. Percampuran ini sendiri menyebabkan keserupaan, kebingungan, dan kesulitan. Kaidah ini menjelaskan bahwa orang yang dalam keadaan demikian wajib menyempurnakannya.
Contohnya, jika seseorang sedang berpuasa ramadhan, kemudian ingin melakukan perjalanan yang jauh. Ia berpikir, apakah harus tetap ia berpuasa atau membatalkan puasanya karena bepergian tersebut. Apabila berdasarkan kaidah di atas, maka ia harus tetap berpuasa.
Akan tetapi karena adanya perjalanan [safar] merupakan illah hukum bolehnya [rukhsah] tidak berpuasa, maka seseorang tersebut dibolehkan tidak berpuasa. Walaupun di dalam perjalanan tersebut tidak ditemukan adanya kesulitan seperti yang terdapat pada kaidah الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ seperti pada artikel sebelumnya.
Contoh lainnya tentang puasa. Misalnya seseorang ingin membayar puasa ramadhan dan ketika di pertengahan puasanya, ia teringat bahwa pada hari itu adalah hari senin, sehingga ia ingin juga menggabungnya dengan puasa senin, maka orang yang dalam keadaan ini, tidak dapat mencampurkan dua ibadah tersebut dan ia harus menyelesaikan pembayaran puasa tersebut.
Kaidah selanjutnya :
٤. لَاقِيَاسَ فِى الْعِبَادَةِ غَيْرِ مَعْقُلِ الْمَعْنَى.
“Tidak bisa digunakan analogi (qiyas) dalam ibadah yang tidak bisa dipahami maksudnya”.
Kaidah di atas adalah kaidah yang diperselisihkan di antara para ulama, sebab ketentuan pokoknya yaitu qiyas juga menjadi perdebatan para ulama. Kendati demikian, dalam artikel ini kaidah di atas tetap dibahas, karena berkaitan dengan ibadah mahdhah.
Maksud dari kaidah itu adalah untuk membatasi penggunaan qiyas. Qiyas yang dimaksudkan di sini adalah rasional atau logika. Artinya segala bentuk ibadah sebenarnya bisa saja dipikirkan dan dinalar karena ‘illah [motif timbulnya hukum] hukum ibadah tersebut dapat diketahui, namun karena ada pula ‘illah hukum ibadah yang tidak bisa dinalar. Dengan demikian, maka ibadah ini tidak bisa diqiyas [dinalar] sehingga diterima apa adanya.
Contohnya : shalat gerhana matahari atau gerhana bulan yang tidak dapat diketahui ‘illahhukumnya, sehingga para ulama pun melakukannya dengan ta’abbudi. Begitu juga ketika shalat maghrib, dua raka’at pertama dengan jahr [suara yang jelas], namun pada 1 raka’at yang terakhir dilakukan dengan sirr[hanya kedengaran oleh diri sendiri]. ‘Illah hukum kenapa raka’at terakhir dengan sirr tidak dapat diketahui. sama halnya dengan 2 raka’at terakhir shalat Isya. Oleh karena itu, semua diterima secara ta’abbudi.
Kaidah selanjutnya :
٥. تَقْدَيْمُ الْعِبَادَةِ قَبْلَ وَجُوْدِ سَبَبِهَا لَا يَصِحُّ.
“Tidaklah sah mendahulukan ibadah sebelum ada sebabnya”.
Kaidah ini bermaksud tidak bisa kita mendahulukan suatu ibadah sebelum tiba waktunya, waktu yang telah ditentukan kapan ibadah tersebut harus dilakukan. Contohnya seperti shalat lima waktu, jika belum sampai waktunya tidak sah shalat yang dilakukan, kecuali ada hal-hal tertentu, misalnya menjamak shalat.
Kaidah berikutnya :
٦. كُلُّ بُقْعَةٍ صَحَّتْ فِيْهَا النَّافِلَةُ عَلَى الْإِطْلَاقِ صَحَّتْ فِيْهَا الْفَرِيْضَةُ.
“Setiap tempat yang sah digunakan untuk shalat sunnah secara mutlak, sah pula digunakan shalat fardhu”.
Selama tempat tersebut bersih dan bisa digunakan untuk shalat, maka hal tersebut boleh untuk melaksanakan shalat. Contohnya, boleh atau sah melakukan shalat idul fitri atau idul adha di lapangan, maka sah pula melakukan shalat fardhu di tempat tersebut, selama tempat tersebut bersih dan suci.
Selanjutnya :
٧. الْإِثَارُ فِى الْقُرْبِ مَكْرُوْهٌ وَفِى غَيْرِهَا مَحْبُوْبٌ.
“Mengutamakan orang lain pada urusan ibadah adalah makruh dan dalam urusan selainnya disenangi”.
Maksud kaidah ini adalah makruh jika mendahulukan orang lain dalam masalah ibadah. Akan tetapi, tidak jadi masalah jika mendahulukan orang lain dalam hal duniawi atau masalah sosial di masyarakat. Contohnya, makruh mengutamakan orang untuk shalat di shaf pertama, sementara kita mengalah di shaf kedua. Jelas hukumnya makruh, walaupun dengan pimpinan atau orang tua.
Akan tetapi, jika kita mendahulukan seseorang misalnya dalam suatu antrian [terlebih dengan yang sudah tua sekali], maka hal tersebut tidak jadi masalah, selama kita tidak bergegas pula.
Kaidah berikutnya :
٨. الْفَضِيْلَةُ الْمُتَعَلِّقَةُ بِنَفْسِ الْعِبَادَةِ أَوْلَى مِنَ الْمُتَعَلِّقَةِ بِمَكَانِهَا.
“Keutamaan yang dikaitkan dengan ibadah sendiri adalah lebih utama daripada yang dikaitkan dengan tempatnya”.
Maksud dari kaidah ini, ada keterkaitan antara perbuatan ibadah seseorang dengan tempat dan antara beribadah sendirian dengan berjamaah. Contohnya, shalat di lingkungan ka’abah lebih utama di luar ka’bah, namun apabila shalat di luar ka’bah secara berjama’ah maka lebih utama dibandingkan dengan shalat di lingkungan ka’bah tapi sendirian.
Begitu juga shalat di luar ka’bah, apabila dilakukan secara berjama’ah, maka lebih utama jika dibandingkan dengan sendirian. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi :
(صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً. ﴿متفق عليه
“Shalat berjamaah lebih utama dua puluh tujuh derajat daripada shalat sendirian.” (Muttafaqun alaihi).
Selanjutnya :
٩. الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْمَقْبِرَة وَالْحَمَّام.
“Bumi ini seluruhnya adalah masjid kecuali kuburan dan kamar mandi”.
Maksud kaidah di atas adalah dimana saja kita berada asalkan bersih dari najis maka kita boleh melakukan shalat karena semuanya dianggap mesjid, kecuali di kuburan dan kamar mandi.
Dilarangnya di kuburan, karena dikhawatirkan akan timbulnya anggapan orang lain bahwa kita menyembah ke kuburan. Dilarangnya shalat di kamar mandi, karena semua orang sudah mengetahui bahwa kamar mandi merupakan tempat untuk membersihkan diri baik mandi atau pun buang hadas.
Timbul suatu pertanyaan, apakah boleh shalat di gereja? Berdasarkan kaidah tersebut, dibolehkan melakukan shalat di gereja atau tempat ibadah agama lain. Permasalahannya hanya kurang etis, selain itu bertentangan pula dengan kaidah sebelumnya yang menyebutkan ”Keutamaan yang dikaitkan dengan ibadah sendiri adalah lebih utama daripada yang dikaitkan dengan tempatnya”.
Berikutnya :
۱۰. الْخَوْفُ يُبِيْحُ قَصْرَ صِفَةِ الصًّلَاةِ.
“Kekhawatiran membolehkan qhasar shalat”.
Kaidah di atas dapat menjadi pegangan bagi seseorang, jika dalam suatu keadaan yang mendesak, dibolehkan untuk melakukan qhasar shalat. Contohnya, seseorang yang akan menuju suatu kota dan ia menumpang suatu armada bus, saat transit di sebuah tempat, dan armada bus tersebut hanya mampir sebentar, maka seseorang tersebut boleh mengqhasar shalat, karena ditakutkannya akan ketinggalan bus tersebut.
۱۱. الْعِبَادَةُ الْوَارِدَةُ عَلَى وُجُوْهٍ مُتَنَوِّعَةٍ يَجُوْزُ فِعْلَهَا جَمِيْعِ تِلْكَ الْوُجُوْهِ الْوَارِدَةِ فِيْهَا.
“Ibadah yang kedatangannya (ketentuannya) dalam bentuk yang berbeda-beda, boleh melakukannya dengan cara keseluruhan bentuk-bentuknya”.
Maksud dari kaidah ini adalah, banyak cara dalam melakukan satu macam ibadah. Karena itu boleh memilih salah satu cara, bahkan yang mudah, asal konsisten melakukannya, namun dalam suatu waktu, boleh menggunakan cara yang lain, dan bahkan suatu waktu boleh juga menggabungkan cara-cara tersebut karena keseluruhannya mencontoh dari hadis nabi.
Contohnya, boleh saja melakukan shalat dhuha dua rakaat, meski lebih dari dua rakaat juga boleh, namun yang lebih bagus adalah yang dapat membuat kita konsisten melakukannya. Suatu waktu bisa saja kita melakukan lebih dua rakat. Sama halnya juga terkait dengan bacaan-bacaan dalam shalat, misalnya doa iftitah yang kita ketahui ada berbagai macam. Masih banyak lagi contoh-contoh yang lain.
Kaidah selanjutnya :
۱۲. الْجُزْءُ الْمُنْفَصَلُ مِنَ الْحَيِّ كَمَيْتَتِهِ.
“Bagian yang terpisah dari binatang yang hidup hukumnya seperti bangkai binatang tersebut”.
Maksud dari kaidah di atas yakni, apabila ada salah satu bagian binatang yang terpisah dari bagian tubuhnya yang masih hidup, maka yang terpisah itu hukumnya seperti bangkai. Contohnya, seekor sapi yang kakinya terpotong, maka hukum dari kaki tersebut adalah haram menurut kaidah di atas, karena bagian lainnya masih hidup, sehingga yang terpisah itu hukumnya sama seperti bangkai.
Kaidah berikutnya adalah :
كُلُّ مَنْ وُجِبَ عَلَيْهِ شَيْءٌ فَفَاتَ لَزِمَهُ قَضَاؤُهُ.
“Setiap sesuatu yang diwajibkan kepada seseorang, kemudian dia lewatkan (tidak dilakukan), maka dia wajib meng-qadhanya”.
Kaidah ini terkenal dilakukan oleh ulama Syafi’iyyah, sehingga apabila ada kewajiban yang tertinggal dilaksanakan, seperti shalat wajib, maka ia wajib mengqadhanya, kecuali untuk wanita yang meninggalkan shalat karena haidh, maka kaidah ini tidak diberlakukan pada mereka.
Namun tidak sedikit juga ulama yang tidak menerapkan kaidah di atas, sehingga apabila ada kewajiban yang tertinggal atau tidak dilakukannya, maka kewajiban tersebut tidak bisa diqadha. Contohnya seperti tidak adanya qadha untuk shalat wajib.
Khusus untuk puasa wajib di bulan Ramadhan, para ulama sepakat bagi yang meninggalkannya diwajibkan untuk membayar di hari yang lain di luar bulan ramadhan dan termasuk pula wanita yang tidak berpuasa karena haidh. Hal ini sesuai dengan Q.S. al-Baqarah [2: 184] :yang artinya :
Dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Ada kaidah yang dipakai dalam kalangan Malikiyyah, tetapi pada mazhab lainnya tidak digunakan, yakni:
كُلَّ مَا يُفْسِدُ الْعِبَادَة عَمْدًا يُفْسِدُهَا سَهْوًا.
“Setiap yang merusak (membatalkan ibadah) karena sengaja, maka hal tersebut membatalkannya pula karena lupa”.
Kaidah di atas menunjukkan kehati-hatian dalam ibadah, apabila tidak sengaja melakukan kesalahan karena lupa atau hal lain yang dapat merusak ibadah, maka hal tersebut sama membatalkan ibadah tersebut. Contohnya seseorang yang sedang berpuasa kemudian makan, maka puasanya batal, walaupun makan itu karena lupa. Namun menurut mazhab ini ia tidak berdosa.
Berbeda halnya dengan pendapat yang lain, lupa adalah salah satu unsur yang dapat dimaafkan dalam ibadah, sebagaimana kaidah di bawah ini:
مَا لَايُمْكِنُ الْإِحْتِرَازِ مِنْهُ مَعْفُوٌ عَنْهُ.
“Apa yang tidak mungkin dalam menjaganya, maka hal itu dimaafkan”.
Kalau kita lihat pada kaidah di atas, maka ketidaksengajaan tersebut dapat dimaafkan. Selain itu, ada hadis Nabi SAW yang menyebutkan bahwa “Barang siapa yang lupa makan dan minum, padahal dia sedang puasa, maka teruskan puasanya, karena Allah SWT memberi makan dan minum kepadanya”.
Kaidah berikutnya :
۱۳. لَاتَجِبُ فِى عَيْنِ وَاحِدَةٍ زَكَاتَانِ.
“Dalam satu jenis benda tidak wajib dua kali zakat”.
Kaidah ini bermaksud, apabila dalam satu benda yang sama, maka zakat yang dikeluarkan pun hanya sekali saja. Contohnya, seorang pedagang obat yang jika harta kekayaannya ditaksir sudah cukup memenuhi wajib zakat, maka zakat wajibnya hanya sekali setahun, meski kekayaannya sangat melimpah. Tetapi apabila pedagang obat ini memiliki juga usaha yang lain seperti memiliki perkebunan yang luas, maka ia diwajibkan juga berzakat dari hasil perkebunan tersebut.
Kaidah yang terakhir adalah :
. مَنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ فِطْرَتُهُ وَجَبَتْ عَلَيْهِ فِطْرَةُ كُلِّ مَنْ تَلْزَمَهُ.
“Barangsiapa yang diwajibkan kepadanya zakat fitrah, maka wajib pula baginya mengeluarkan zakat fitrah bagi orang yang dia wajib menafkahinya”.
Demikian yang dapat saya tulis dalam blog kali ini, semoga apapun yang dapat saya tuangkan dalam blog ini, dapat bermanfaat kedepannya bagi para pembaca, Aamiin.
Billahitaufik wal hidayah
Wassalamualaikum Warohmatullah Wabarakatuh
Sumber :
https://freemanof.wordpress.com/tugas/manusia_sebagai_makhluk_sosial/
http://haykal-hmj.blogspot.com/2015/01/ibadah-mahdhah-dan-ibadah-ghairu-mahdhah.html?m=1
Ntaps boy
ReplyDeleteAssalamualaikum Warohmatullah Wabarakatuh
ReplyDeletePertama tama marilah kita mengucap syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT, yang mana karena limpahan rahmat dan hidayah nya kita masih diberikan kesehatan dan keselamatan, Aamiin Yaa rabbal alamin.
Kedua, shalawat wa salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang kita tunggu tunggu syafa’at nya pada akhir zaman.
Baik pembaca sekalian, saya akan memposting tentang “Manusia Makhluk Sosial “ sebagai pertemuan ke lima, namun materi ke 6 dalam Perkuliahan saya, semoga postingan saya dalam blog ini bermanfaat bagi kita yang membacanya, Aamiin.
Manusia Makhluk Sosial. Manusia adalah makhluk yang membutuhkan satu sama lain. Manusia tidak dapat hidup sendiri atau tanpa orang lain, sesuatu yang dilakukan setiap manusia, pasti terdapat campur tangan manusia lainnya. Oleh karenanya, agar aktivitas berjalan dengan baik, maka hubungan antara manusia satu sama lain harus juga baik.
1. Pengertian
Manusia adalah makhluk sosial yang hidup bermasyarakat (zoon politicon). Keutuhan manusia akan tercapai apabila manusia sanggup menyelaraskan perannya sebagai makhluk ekonomi dan sosial. Sebagai makhluk sosial (homo socialis), manusia tidak hanya mengandalkan kekuatannya sendiri, tetapi membutuhkan manusia lain dalam beberapa hal tertentu. Misalnya, dalam lingkungan manusia terkecil yaitu keluarga. Dalam keluarga, seorang bayi membutuhkan kasih sayang kedua orang tuanya agar dapat tumbuh dan berkembang secara baik dan sehat.
Manusia tidak dapat mencapai apa yang diinginkan dengan dirinya sendiri. Karena manusia menjalankan peranannya dengan menggunakan simbol untuk mengkomunikasikan pemikiran dan perasaannya. Manusia tidak dapat menyadari individualitas, kecuali melalui medium kehidupan sosial.
Sebagai masyarakat Indonesia, setiap manusia saling membutuhkan satu sama lainnya tentunya dalam hal yang positif. Saling bersosialisasi antara satu sama lainnya membuat interaksi yang kuat untuk mengenal kepribadian manusia lain. Manusia yang mudah bersosialisasi adalah manusia yang dapat atau mampu menjalankan komunikasi dengan baik dengan lingkungan sekitarnya. Dengan berlandaskan Pancasila manusia sebagai makhluk yang sosial dan budaya disatukan untuk saling menghormati dan menghargai antara manusia yang memiliki budaya yang berbeda-beda.
Manusia sebagai makhluk sosial. Manusia sejak lahir sampai mati selalu hidup dalam masyarakat, tidak mungkin manusia di luar masyarakat. Aristoteles mengatakan bahwa makhluk hidup yang tidak hidup dalam masyarakat ialah sebagai seorang malaikat atau seorang hewan.
Di India oleh Mr. Singh didapatkan dua orang anak yang berumur 8 tahun dan 1 ½ tahun. Pada waktu masih bayi anak-anak tersebut diasuh oleh serigala dalam sebuah gua. Setelah ditemukan kemudian anak yang kecil mati, tersisa yang besar. Selanjutnya, walaupun ia sudah dilatih hidup bermasyarakat sifatnya masih seperti serigala, kadang-kadang meraung-raung di tengah malam, suka makan daging mentah, dan sebagainya. Juga di Amerika dalam tahun 1938, seorang anak berumur 5 tahun kedapatan di atas loteng. Karena terasing dari lingkungan dia meskipun umur 5 tahun belum juga dapat berjalan dan bercakap-cakap. Jadi jelas bahwa manusia meskipun mempunyai bakat dan kemampuan, namun bakat tersebut tidak dapat berkembang, Itulah sebabnya manusia dikatakan sebagai makhluk sosial (Hartomo, 2000: 77).
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa manusia lainnya. Misalnya saja hubungan sosialisasi antar tetangga , dengan adanya interaksi sosial antar tetangga akan mempermudah kita dalam mengatasi masalah di sekitar yang membutuhkan bantuan dari manusia lainnya. Jadi itulah mengapa manusia dikatakan sebagai makhluk sosial.
2. Esensi Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Esensi manusia sebagai makhluk sosial pada dasarnya adalah kesadaran manusia tentang status dan posisi dirinya adalah kehidupan bersama, serta bagaimana tanggungjawab dan kewajibannya di dalam kebersamaan.
Dibawah ini merupakan faktor-
This comment has been removed by the author.
Delete